Senin, 10 Maret 2014

TENTANG SATU SENJA

"Cantik. Bahkan sangat cantik, Rei". Pujiku setelah melihat sendiri sosok Anindya , gadis yang saat itu di pacari sahabatku, Reinaldy.

Reinaldy meraih jusnya. Sesungging senyuman sekilas kulihat di raut wajahnya yang tampak lelah. Senja ini aku duduk menemaninya di cafe OI, duduk di sudut favoritnya sambil menyaksikan senja yang memerah dan lalu lalang laju kendaraan di bawah sana, seakan di kejar waktu, berlomba mengejar matahari. Setelah beberapa tegukan ia menatapku, tetap membisu. Tetapi tatapannya isyaratkan satu kisah yang tampaknya berat untuk di ceritakan, satu kisah yang manisnya menjadi racun yang perlahan nyaris meredupkan cahaya optimismenya.

"Masih gak bisa kufahami, Rei. Kerna kulihat pancaran cinta di matanya, dan kuberani bertaruh. Pancaran cinta itu untukmu. Tak berbagi. . ."

Kali ini sahabatku tertawa, ironinya lagi, kufahami tawa lebarnya adalah airmata. Airmata ketegaran yang tak pernah di tumpahkan.

"Ok deh. Kuceritakan kisah ini padamu, sobat. Kau nilai saja sendiri, tak perlu bersikap subjektif, karena semua begitu jelas...".

"Senja itu Val, tepat seperti senja ini juga, pantai duta wisata. Disana keindahan berawal dan berakhir. Keindahan cintaku cintanya, serupa mawar. Indah. Mewangi. Tetapi ia berduri. . ."

=======

Pantai Duta Wisata...

Reinaldy duduk menatap deburan ombak pantai duta wisata yang berkejaran, memburu karang. Terhempas dan membuyar saat menubrukkan buih2nya yang lembut di kokohnya bebatuan karang yang menerjal. Duduk di sisinya, Anindya , bidadari yang selama ini menemani hari2nya, penuh canda, tawa, tetapi itu dulu, sebelum awan hitam mulai meretakkan pesona cinta. Anindya yang senantiasa tampil sempurna, dalam balutan t-shirt pink kesayangannya. Anindya yang juga menatap jauh di cakrawala, tatapan kosong. Cukup lama keduanya membisu, sesunyi suasana hati, juga pantai yang mulai sepi.

"Kamu cemburu, Rei?" tanya Anindya.

"Rasanya sudah tak lagi, aku tlah lama belajar dan mengerti. Memahami, bahwa cinta tak slalu kan memiliki. Tak mesti berujung di kesucian janji. Aku tlah lama belajar dan berjuang... tuk hidup tanpa hadirmu".

"Dia pilihan papaku, Reinaldy. Aku tak mencintainya! Kenapa kamu gak bisa juga fahami keadaanku?", Anindya protes.

"Trus kalau itu pilihan papamu, meski tanpa cinta kamu boleh berjalan2 dengannya, menemaninya di malam2 minggu di saat aku begitu rindu dan membutuhkan hadirmu, menerima hadiah2 yang mewah darinya meski tanpa keikhlasan hati? ", Reinaldy menatap tajam Anindya.

"Aku tak mau melukai hati papa".

"Oh ya? Walau kamu tahu itu benar2 jadi luka di hatiku, Anindya?"

Kembali sunyi, larut dalam fikiran masing2, paradigma berbeda yang kian meruncing.

"Dan itukah alasanmu tuk pergi dari kehidupanku, Rei?", tanya Anindya. Matanya mulai berkaca2, butir2 hangat bagai permata mengalir di pipinya yang lembut. Tertunduk.

"Bukan, Anindya. Bukan cuma itu. Aku menanti dan terus menanti, di saat mana waktumu habis dalam rapat, temu clien, negosiasi atau entah apalagi... Dan obsesimu itu menikamku, Anindya. Jadi apa artinya cinta yang slama ini begitu manis terucap beribu kali dari bibirmu?", Reinaldy terus berargumen, Anindya mematung mendengarkan.

"Maafkan aku, Rei. . ."

Hembusan angin senja yang mulai dingin, menusuk kulit. Langit mulai gelap. Rambut Anindya yang tergerai tertiup angin, menebar aroma wangi yang terhirup oleh Reinaldy, sejenak kenangan2 indahnya bersama Anindya kembali melintas, tetapi cuma sejenak, kerna seraut wajah lain memudarkannya. Menghapusnya.

Hp Anindya berbunyi.
Sms.

"Dia? atau clien?", tanya Reinaldy datar.

Anindya tak menjawab, usai membalas sms ia menatap Reinaldy, mantan kekasihnya itu.

"Aku pulang duluan, Rei. Thanks tuk semuanya. I miss U. . .".

Sosok anggun itu berjalan kearah mobil yang di parkir tak jauh dari situ. Ia masuk, perlahan menghilang di ujung jalan. Menghilang dari hati dan hidup Reinaldy tuk selamanya.

Hp Reinaldy berbunyi.

Satu pesan, dan itu sanggup membuat Reinaldy tersenyum penuh cinta. Seraut wajah cantik pun membayang di benaknya.

Satu nama. Satu cinta. Sindiana Mela Davina.

Bandar lampung, 8 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar