Senin, 10 Maret 2014

PELUKIS MENGGUGAT

Setibanya di rumah, tubuhku masih bersimbah keringat, tetapi ini tidak bisa di tunda, harus saya tuliskan.

“starting windows”...
Menunggu sejenak bootingnya laptop, kuhirup dalam-dalam kretek dji sam soe yang baru saja kunyalakan.

Selanjutnya catatan ini pun mulai mengalir...

Hari guru. Ya, itu momentum yang membuat saya berada di sana, sebuah lapangan besar di pusat kota, pengunjung yang hadir kebanyanyan ibu-ibu dan para gadis. Maklumlah. Memperingati hari guru tahun ini di kotaku di adakan lomba menggambar dan mewarnai antar guru paud dan TK, penuh antusias peserta yang mendaftar mencapai ribuan.

Saya seorang pelukis yang rindu suasana lomba, melihat banyak karya, banyak tema, itu adalah hal yang lama sekali tak lagi kudapati. Di sini seni seakan tak punya arti. Banyak bakat-bakat yang terjegal. Sisanya berbalik jadi seniman oposisi. Saya salah satunya.

Saya terdaftar sebagai peserta, itu bukan kemauan saya. Tetapi karena saya ada dalam daftar guru paud di kota ini, seperti di paksa turut bergabung di antara peserta yang mayoritas wanita itu. Banyak kulihat peserta yang mencuri start. Saya cuek. Sudah jadi karakterku menghormati aturan lomba.

Tak di sangka, waktu yang baru saja di mulai itu tiba-tiba terasa sangat singkat, saat pembawa acara memberi peringatan waktu tersisa 30 menit lagi. “Fuck” makiku dalam hati, lomba macam apa ini yang waktunya begitu singkat? Padahal sebagai pelukis profesional saya faham betul tidak mungkin waktu yang satu jam itu cukup untuk menghasilkan karya yang bagus, baik dari segi penggalian ide gambar, teknik pewarnaan, peletakan warna sampai pada kerapihan dan kelengkapan, rasanya kok seperti di pecundangi? Benar-benar hal itu membuat konsentrasi buyar bercampur emosi.

Di sisi depan maupun samping dapat kulihat beberapa karya guru paud yang cukup bagus, tetap saja saya gak yakin mereka menyelesaikan lukisannya.

Hitung mundur itu jadi terasa benar-benar cepat. Saat waktu habis kuharus relakan gambarku terkumpul tidak maksimal. Pengerjaan yang terburu-buru.

Keluhan tinggallah keluhan, keputusan juri toh tidak bisa di ganggu gugat,hehe. Menunggu penilaian akhir juri, panggung di isi acara danggdutan bagi peserta.

Sampai pengumuman itu tiba. Beberapa karya yang kuanggap cukup baik tak meraih juara. Tidak juga saya. Kemudian juri yang [katanya] juga pelukis yang sudah keliling indonesia itu membacakan aspek penilaian juri dalam memilih para pemenang, penuh keheranan saya di buatnya. Juri menilai hanya dari segi pewarnaan tanpa sedikit pun menyinggung teknik menggambar[ untuk teknik tidak tepat kalau di bahas di sini]. Saya kecewa dan berteriak...

“ Kalau ujungnya yang di nilai adalah pewarnaan, ngapain juga ngadain lomba gambar. Kenapa gak lomba mewarnai saja!!!”.

Teriakanku tinggallah teriakan yang tenggelam oleh suara juri yang menggema dari mikropon, kalau toh ada yang melihat kearahku atas kata-kataku barusan, takkan punya efek apa-apa. Lagi-lagi karena keputusan juri memang tidak bisa di ganggu gugat.

Bosan mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut juri, kulangkahkan kaki dengan gontai. Kuakui meski gambar para juara sangatlah biasa dan tak terkait tema, pewarnaan mereka benar rapi. Yang jadi pertanyaan dalam benak saya adalah, benarkah karya itu murni di buat dalam waktu yang sesingkat itu? Fikirku, sebuah pemikiran seorang pelukis yang lama bergelut di dunia gambar.

Namun sudahlah, tanya tinggallah tanya, terkubur di antara tawa juara[?] dan panitia, karena saya datang sebagai peserta, bukan sebagai pelukis profesional yang punya suara, yang pengamatannya layak untuk di pertimbangkan. Apalah arti gugatan satu peserta di banding seorang juri dengan suara membahana? Dan camkan, semua itu karena keputusan juri adalah sudah bulat mutlak, tidak dapat lagi di ganggu gugat.

Disini, cuma lewat tulisan, sekedar pelepas rasa kedongkolan. Kupersembahkan kepada pembaca setia tulisan-tulisan saya, agar mereka memetik hikmahnya.

Di sini, ya.. cuma dalam tulisan ini, keputusan juri itu bisa kugugat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar