Setiap orang ingin bahagia, itu pasti. Siapa sih orangnya yang ingin hidup susah, bergelimang airmata kesedihan, menjalani hari-hari dengan kesusahan hati. Tak ada, tak akan pernah ada yang menginginkan itu. Setiap orang ingin bahagia dalam hidupnya, sayangnya tidak setiap orang mampu dan bisa merasakan kebahagiaan setiap saat.
Sumber masalah sebenarnya dari ketiadaan rasa kebahagiaan adalah lagi-lagi persepsi yang salah tentang konsep bahagia itu sendiri, maka tak ada jalan lain selain mulai mengubah sudut pandang dan paradigma tentang arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Selama ini jika saya perhatikan orang membatasi nilai kebahagiaan secara sempit, hanya berkisar tentang kebendaan, materi duniawi, padahal bahagia itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak, tak bterlihat namun bisa di rasakan. Jadi jika seseorang membatasi nilai kebahagiaannya hanya sebatas materi semata, tentulah yang ia rasakan dalam hidupnya hanyalah ketidak tentraman, rasa haus yang tak kunjung hilang, kesempitan hati di tengah persaingan, dan berpotensi menjadi depresi yang bisa berakibat stress yang menjurus pada schizophrenia.
Dari mulai membuka mata di pagi hari sampai menutupkan mata di malam hari, aktivitasnya tak lebih sekedar duniawi, yang ada di fikirannya hanyalah tentang bagaimana mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, ia benar mengira bahwa bahagia itu ketika ia punya rumah yang mewah di kawasan perumahan elite, di fikirnya bahagia itu pabila telah memiliki kendaraan yang termahal dan terbaru, semua di ukur sebatas kebendaan. Padahal saat semua itu telah ia dapatkan ia pun akan mengalami kebingungan sendiri, mengapa meski telah memiliki segalanya hatinya tak juga kunjung merasa tentram, yang ada kini justru rasa ketakutan yang kian dalam, takut kehilangan harta yang telah ia kumpulkan. Ia berubah menjadi pribadi yang kian pelit, bahkan kepada dirinya sendiri.
Jadi benarlah bahwa kebahagiaan itu tidak bisa di batasi, apalagi hanya dengan batasan materi dunia, karena kebahagiaan itu adalah rasa, ia bersemayam di hati. Bahagia adalah tentang suasana hati,. Jadi sepatutnyalah harta benda dunia tidak ia masukkan dalam hatinya, sesuatu yang bersifat materi hanya layak untuk materi juga, dunia seharusnya hanya sebatas sampai dalam genggaman tangan, tidak patut sampai dan menguasai hati dan perasaan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia itu fana, ia tidak bersifat kekal, ia sementara, mudah berganti dan hilang, maka celakalah mereka yang percaya bahwa bahagia adalah apabila dunia telah bisa di kuasainya. Hati itu abstrak, ia terkait erat dengan ruh, ia kekal, dan hanya bisa menerima sesuatu yang kekal. Akhirnya bisa di simpulkan bahwa kebahagiaan itu muthlak dari yang maha kekal, yakni Alloh Swt.
Seseorang yang terbuka mata hatinya dan di berikan karunia ma’rifah billaah, ia dapat melihat kebenaran sejati dari duniawi, ia melihat hakikat segala sesuatu yang tampak itu. Ia tak mudah tertipu dengan pandangan zhahirnya. Ia melihat dengan ketajaman mata hatinya.
Orang-orang yang telah terbuka mata bathinnya, merekalah yang senantiasa bahagia dalam setiap laku hidupnya, laa khaufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun.
Kita akan memulai proses itu dari mulai bersikap syukur dan qana’ah. Mensyukuri apapun rizki yang di berikan Alloh, ia ridha, dan merasa cukup dengan yang ada, ia mampu bershadaqah, karena hidupnya sebatas kebutuhan, bukan keinginan. Karena memang kalau kita mau jujur, apa yang sudah Alloh berikan adalah lebih dari cukup jika di ukur dengan skala kebutuhan. Tetapi jika ukuran yang di pakai adalah keinginan, ia datang dari hawa nafsu, yang tak pernah merasa cukup, yang selalu merasa kurang.
Setelah syukur dan qana’ah, ia pun mulai melazimkan dzikrulloh, ia menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan mengingat Alloh maka hatinya bisa tenang. Hanya orang yang hati dan jiwanya tenang yang tahu nilai kebahagiaan. Mungkin orang lain memandang orang tersebut sebagai orang yang hidupnya susah, tetapi siapa yang tahu jauh di dalam lubuk hatinya?
Berapa banyak orang yang hidupnya seerhana tetapi ia merasakan kebahagiaan di dalam hatinya, dan berapa banyak orang yang berlimpah materi tetapi hatinya di liputi kegundahan yang tak kunjung berhenti.
Logika sederhananya begini, jika si A punya uang seratus ribu, tetapi karena A bersyukur dan qana’ah maka A bisa menutupi kebutuhan A hanya dengan uang senilai lima puluh ribu, A punya kelebihan setengahnya. A bebas apakah hendak menyimpannya atau menshadaqahkan pada yang berhak menerimanya. Tetapi bayangkan si B punya uang sepuluh juta, namun karena ketiadaan rasa syukur dan sikap qana’ah maka karena menuruti keinginan B punya pengeluaran lima belas juta, jadi minus atau kurang lima juta. Maka siapakah yang lebih tenang dan bahagia dalam hidupnya, A atau B? Siapakah yang kaya sebenarnya, A atau B?
Apa anda mulai bisa melihat yang saya maksudkan dari awal tulisan ini?
Hidup di dunia ini sejak lahir sampai mati full berisi masalah, jadi tetaplah anda bahagia di tengah badai problema dengan senatiasa ingat kepada-Nya. Mensyukuri apa yang telah anda miliki, dan merasa cukup dengan hidup dalam standard kebutuhan... bukan keinginan.
Sumber masalah sebenarnya dari ketiadaan rasa kebahagiaan adalah lagi-lagi persepsi yang salah tentang konsep bahagia itu sendiri, maka tak ada jalan lain selain mulai mengubah sudut pandang dan paradigma tentang arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Selama ini jika saya perhatikan orang membatasi nilai kebahagiaan secara sempit, hanya berkisar tentang kebendaan, materi duniawi, padahal bahagia itu sendiri adalah sesuatu yang abstrak, tak bterlihat namun bisa di rasakan. Jadi jika seseorang membatasi nilai kebahagiaannya hanya sebatas materi semata, tentulah yang ia rasakan dalam hidupnya hanyalah ketidak tentraman, rasa haus yang tak kunjung hilang, kesempitan hati di tengah persaingan, dan berpotensi menjadi depresi yang bisa berakibat stress yang menjurus pada schizophrenia.
Dari mulai membuka mata di pagi hari sampai menutupkan mata di malam hari, aktivitasnya tak lebih sekedar duniawi, yang ada di fikirannya hanyalah tentang bagaimana mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, ia benar mengira bahwa bahagia itu ketika ia punya rumah yang mewah di kawasan perumahan elite, di fikirnya bahagia itu pabila telah memiliki kendaraan yang termahal dan terbaru, semua di ukur sebatas kebendaan. Padahal saat semua itu telah ia dapatkan ia pun akan mengalami kebingungan sendiri, mengapa meski telah memiliki segalanya hatinya tak juga kunjung merasa tentram, yang ada kini justru rasa ketakutan yang kian dalam, takut kehilangan harta yang telah ia kumpulkan. Ia berubah menjadi pribadi yang kian pelit, bahkan kepada dirinya sendiri.
Jadi benarlah bahwa kebahagiaan itu tidak bisa di batasi, apalagi hanya dengan batasan materi dunia, karena kebahagiaan itu adalah rasa, ia bersemayam di hati. Bahagia adalah tentang suasana hati,. Jadi sepatutnyalah harta benda dunia tidak ia masukkan dalam hatinya, sesuatu yang bersifat materi hanya layak untuk materi juga, dunia seharusnya hanya sebatas sampai dalam genggaman tangan, tidak patut sampai dan menguasai hati dan perasaan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia itu fana, ia tidak bersifat kekal, ia sementara, mudah berganti dan hilang, maka celakalah mereka yang percaya bahwa bahagia adalah apabila dunia telah bisa di kuasainya. Hati itu abstrak, ia terkait erat dengan ruh, ia kekal, dan hanya bisa menerima sesuatu yang kekal. Akhirnya bisa di simpulkan bahwa kebahagiaan itu muthlak dari yang maha kekal, yakni Alloh Swt.
Seseorang yang terbuka mata hatinya dan di berikan karunia ma’rifah billaah, ia dapat melihat kebenaran sejati dari duniawi, ia melihat hakikat segala sesuatu yang tampak itu. Ia tak mudah tertipu dengan pandangan zhahirnya. Ia melihat dengan ketajaman mata hatinya.
Orang-orang yang telah terbuka mata bathinnya, merekalah yang senantiasa bahagia dalam setiap laku hidupnya, laa khaufun ‘alaihim wa laa hum yahzanuun.
Kita akan memulai proses itu dari mulai bersikap syukur dan qana’ah. Mensyukuri apapun rizki yang di berikan Alloh, ia ridha, dan merasa cukup dengan yang ada, ia mampu bershadaqah, karena hidupnya sebatas kebutuhan, bukan keinginan. Karena memang kalau kita mau jujur, apa yang sudah Alloh berikan adalah lebih dari cukup jika di ukur dengan skala kebutuhan. Tetapi jika ukuran yang di pakai adalah keinginan, ia datang dari hawa nafsu, yang tak pernah merasa cukup, yang selalu merasa kurang.
Setelah syukur dan qana’ah, ia pun mulai melazimkan dzikrulloh, ia menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan mengingat Alloh maka hatinya bisa tenang. Hanya orang yang hati dan jiwanya tenang yang tahu nilai kebahagiaan. Mungkin orang lain memandang orang tersebut sebagai orang yang hidupnya susah, tetapi siapa yang tahu jauh di dalam lubuk hatinya?
Berapa banyak orang yang hidupnya seerhana tetapi ia merasakan kebahagiaan di dalam hatinya, dan berapa banyak orang yang berlimpah materi tetapi hatinya di liputi kegundahan yang tak kunjung berhenti.
Logika sederhananya begini, jika si A punya uang seratus ribu, tetapi karena A bersyukur dan qana’ah maka A bisa menutupi kebutuhan A hanya dengan uang senilai lima puluh ribu, A punya kelebihan setengahnya. A bebas apakah hendak menyimpannya atau menshadaqahkan pada yang berhak menerimanya. Tetapi bayangkan si B punya uang sepuluh juta, namun karena ketiadaan rasa syukur dan sikap qana’ah maka karena menuruti keinginan B punya pengeluaran lima belas juta, jadi minus atau kurang lima juta. Maka siapakah yang lebih tenang dan bahagia dalam hidupnya, A atau B? Siapakah yang kaya sebenarnya, A atau B?
Apa anda mulai bisa melihat yang saya maksudkan dari awal tulisan ini?
Hidup di dunia ini sejak lahir sampai mati full berisi masalah, jadi tetaplah anda bahagia di tengah badai problema dengan senatiasa ingat kepada-Nya. Mensyukuri apa yang telah anda miliki, dan merasa cukup dengan hidup dalam standard kebutuhan... bukan keinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar